Social Icons


Rabu, 08 Mei 2013

Peranan pupuk organik dan pupuk hayati dalam keberlanjutan produksi dan kelestarian lingkungan


Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan Corganik dalam tanah, yaitu <2%, bahkan pada banyak lahan sawah intensif di Jawa kandungannya <1%. Padahal untuk memperoleh produk-tivitas optimal dibutuhkan C-organik >2,5%. Di lain pihak, sebagai negara tropika basah yang memiliki sumber bahan organik sangat melimpah, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.
Bahan/pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran
lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan.
Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan
produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan
untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan
kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari
penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi.
Pupuk organik atau bahan organik tanah merupakan sumber nitrogen tanah yang utama, selain itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik Pupuk Organik dan Pupuk Hayati yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus atau bahan organik tanah.
Bahan dasar pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman umumnya sedikit mengandung bahan berbahaya. Namun penggunaan pupuk kandang, limbah industri dan limbah kota sebagai bahan dasar kompos/pupuk organik cukup mengkhawatirkan karena banyak mengandung bahan berbahaya seperti misalnya logam berat dan asamasam organik yang dapat mencemari lingkungan. Selama proses pengomposan, beberapa bahan berbahaya ini justru terkonsentrasi dalam produk akhir pupuk. Untuk itu diperlukan seleksi bahan dasar kompos yang mengandung bahan-bahan berbahaya dan beracun (B3).
Bahan/pupuk organik dapat berperan sebagai “pengikat” butiran primer menjadi butir sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini besar pengaruhnya pada porositas, penyimpanan dan penyediaan air, aerasi tanah, dan suhu tanah. Bahan organik dengan C/N
tinggi seperti jerami atau sekam lebih besar pengaruhnya pada perbaikan
sifat-sifat fisik tanah dibanding dengan bahan organik yang terdekomposisi
seperti kompos. Pupuk organik/bahan organik memiliki fungsi kimia yang
penting seperti: (1) penyediaan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan
mikro seperti Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe, meskipun jumlahnya relatif
sedikit. Penggunaan bahan organik dapat mencegah kahat unsur mikro
pada tanah marginal atau tanah yang telah diusahakan secara intensif
dengan pemupukan yang kurang seimbang; (2) meningkatkan kapasitas
tukar kation (KTK) tanah; dan (3) dapat membentuk senyawa kompleks
dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn.
Pertanian konvensional yang telah dipraktekkan di Indonesia sejak
Revolusi Hijau telah banyak mempengaruhi keberadaan berbagai mikroba
berguna dalam tanah. Mikroba-mikroba ini mempunyai peranan penting
dalam membantu tersedianya berbagai hara yang berguna bagi tanaman.
Praktek inokulasi merupakan suatu cara untuk memberikan atau
menambahkan berbagai mikroba pupuk hayati hasil skrining yang lebih
unggul ke dalam tanah.
Bahan organik juga berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping
sebagai sumber hara bagi tanaman, sekali gus sebagai sumber energi dan
hara bagi mikroba Penggunaan pupuk organik saja, tidak dapat meningkatkan
produktivitas tanaman dan ketahanan pangan. Oleh karena itu sistem
pengelolaan hara terpadu yang memadukan pemberian pupuk organik/pupuk hayati dan pupuk anorganik dalam rangka meningkatkan
produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan perlu digalakkan. Hanya
dengan cara ini keberlanjutan produksi tanaman dan kelestarian lingkungan
dapat dipertahankan. Sistem pertanian yang disebut sebagai LEISA (low
external input and sustainable agriculture) menggunakan kombinasi pupuk
organik dan anorganik yang berlandaskan konsep good agricultural
practices perlu dilakukan agar degredasi lahan dapat dikurangi dalam
rangka memelihara kelestarian lingkungan.
Pemanfaatan pupuk organik dan pupuk hayati untuk meningkatkan
produktivitas lahan dan produksi pertanian perlu dipromosikan dan
digalakkan. Program-program pengembangan pertanian yang
mengintegrasikan ternak dan tanaman (crop-livestock) serta penggunaan
tanaman legum baik berupa tanaman lorong (alley cropping) maupun
tanaman penutup tanah (cover crop) sebagai pupuk hijau maupun kompos
perlu diintensifkan.

Penggunaan pupuk organik dan hayati


Data tentang penggunaan pupuk organik dan hayati sampai
sekarang sulit diperoleh. Penyebabnya antara lain: 1). karena kebanyakan
pupuk organik dan pupuk hayati diproduksi oleh pengusaha kecil dan
menengah, 2). pupuk organik banyak diproduksi in situ untuk digunakan
sendiri, dan 3). jumlah penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati masih
sangat terbatas. Pupuk organik komersial yang kebanyakan diproduksi ex
situ dipakai untuk tanaman hias pot di kota-kota besar. Baru pada tahuntahun
terakhir ini perusahaan pupuk BUMN Pupuk Sriwijaya sudah mulai
memproduksi pupuk organik. Penggunaan pupuk organik yang diproduksi
secara in situ dilakukan pada tingkat usaha tani dengan menggunakan
limbah pertanian/limbah ternak yang ada di usaha tani yang bersangkutan.
Beberapa perusahaan pertanian/perkebunan seperti kelapa sawit, nanas,
jamur merang mengolah limbahnya menjadi kompos untuk kebutuhan
sendiri.
Penggunaan pupuk hayati pernah terdata dengan baik beberapa waktu, yaitu ketika pupuk hayati (inokulan rhizobia) merupakan salah satu komponen paket produksi untuk proyek intensifikasi kedelai pemerintah.
Pemerintah mengadakan kontrak pesanan inokulan untuk seluruh areal
intensifikasi kedelai. Karena adanya sistem kontrak ini beberapa pabrik
inokulan berdiri karena dengan sistem ini produksi inokulan mereka terjamin
pembelinya.
Pada periode 1983-1986, inokulan (Legin) sebanyak 68.034,67 kg telah digunakan untuk menginokulasi tanaman kedelai seluas 453.564 ha pada 25 provinsi di Indonesia (Sebayang and Sihombing, 1987). Pada Pupuk Organik dan Pupuk Hayati musim tanam tahun 1997/1998, jenis inokulan lain (pupuk hayati majemuk Rhizoplus) sebanyak 41.348,75 kg digunakan untuk menginokulasi 330.790 ha kedelai di 26 provinsi (Saraswati et al., 1998).
Perkembangan penggunaan inokulan Legin tiap tahun sejak tahun 1981-1995 tidak menunjukkan tendensi meningkat seperti diperlihatkan pada Tabel 1.
Pencanangan “Go organic 2010” oleh Departemen Pertanian diharapkan akan menunjang perkembangan pupuk organik dan hayati di Indonesia. Selain itu juga mulai dilaksanakannya sistem pertanaman padi SRI oleh para petani mendorong mulai dproduksinya kompos in situ oleh para petani.
Tabel 1. Penggunaan inokulan Legin
Tahun Jumlah Tahun Jumlah
T t
1981     7,5 1989 < 1,0
1982     6,1 1990 < 1,0
1983    10,1 1991 15,0
1984   20,1 1992 15,0
1985   17,1 1993 <1,0
1986   24,7 1994 < 1,0
1987   13,0 1995 >2,0*
1988   < 1,0

SUMBER :http://srimulyajaya.wordpress.com/2010/02/04/sejarah-pupuk-organik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar